Kamis, 13 April 2023

BUKAN PADA PANDANGAN PERTAMA

 Karya : Ai Sumarni

    Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba, kami sudah berkumpul di rumah Ujang, yang ditunjuk sebagai ketua panitia reuni. Hari ini kami akan mengadakan reuni kelas tiga semasa SMA, tempat pelaksanaannya di rumah Wulan yang berada di Desa Cidopang. Sengaja kami memilih rumah Wulan, karena Wulan baru beberapa hari melahirkan anaknya, jadi sekalian menjenguknya.

     “Yat, nanti kita mampir dulu ya, ke toko baju bayi!” Kata Gesa sambil menggandeng tanganku.

     “Baru mau belanja atau tinggal ambil saja?” Aku balik bertanya.

     “Tinggal ambil, kemarin aku sudah pesan, dan minta langsung dibungkus. Isinya itu, handuk, selimut dan baju-baju bayi. Wulan pasti senang, ya.”

     “Alhamdulillah, pasti senang, lah, kita pun sudah lama ingin jumpa Wulan. Untung kawan-kawan setuju, ya, kalau reuni pertama kita diadakan di rumah Wulan.”

     Jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan, namun, cuaca agak mendung, matahari enggan menampakkan dirinya. Kami bersiap-siap untuk melakukan perjalanan, semua peserta reuni memakai celana panjang, karena selain jalan yang akan ditempuh lumayan jauh juga sekitar 1500 meter hanya bisa ditempuh sepeda motor dan jalan kaki. Aku pernah ke sana, waktu ngantar Wulan pindah setelah menikah. Mobil hanya sampai di terminal, setelah itu dilanjutkan dengan naik ojeg atau jalan kaki. Aku lebih memilih jalan kaki, ngeri melihat jalanan yang menurun dan masih tanah.

       Hujan rintik-rintik membasahi kampung Cidopang, jalanan menjadi licin dan becek.  Namun, kami tetap melangkahkan kaki menelusuri jalanan yang menurun, aku sempat tergelincir beberapa kali, kawan yang membantu pun turut terjatuh. Semuanya tidak ada yang memakai alas kaki, sandal, sepatu ditenteng, pengalaman yang mengasyikkan. Sesekali diselingi tertawa bila ada yang jatuh, apalagi jika melihat kaki sudah belepotan lumpur.

     “Cape juga, ya, masih jauh ga, sih, rumah Wulannya?” Tanya Imah.

     Kulihat Imah menghentikan langkahnya, lalu memandang sekeliling, heran mungkin, kalau hanya ada beberapa rumah penduduk, itu pun hanya di sebelah kiri jalan, sedangkan sebelah kanan sejauh mata memandang hanya pemandangan yang indah yang terlihat, banyak pepohonan di bawah sana.

     “Yat, lihat gunung itu indah sekali,” seru Imah. “Aku suka pemandangannya.”

     “Iya, Mah, pantesan Wulan betah di sini, pemandangannya indah dan masih asri,” kata Gesa.

     “Suaminya kan, tinggal di sini,” ujarku. “Wajarlah, dia harus ikut suaminya.”

     “Suaminya Wulan itu, ustadz di kampung ini, ya, kata Ujang, walaupun masih muda, tetapi sangat disegani.” Alfat yang dari tadi diam ikut nimbrung.

     “Enggak nyangka, ya, kalau Wulan yang dulu kita ejek enggak bakal punya suami, eh, malah dia duluan yang sudah nikah, sudah punya anak lagi,” kata Imah sambil tertawa. “Saya yang pacaran sudah lama, masih gini-gini aja.”

     “Kita kan, masih kuliah, kalau Wulan, dengarnya sih cuma sampai D1 saja,” kata Gesa.

     “Gimana ceritanya sih, kok, bisa cepat nikah, padahal dia, kan, enggak pernah pacaran, mustahil rasanya,” bisik Imah sambil melirik padaku.

     Aku hanya tersenyum, semua kisah Wulan dari mulai perkenalan sampai menikah, aku mengetahuinya.

     Tak terasa kami sudah sampai depan rumah Wulan, lumayan besar kalau dibandingkan rumah sekitarnya. Halamannya luas ditumbuhi rumput hijau, depan rumahnya berdiri sebuah masjid besar. Masih ada ibu-ibu yang duduk di dalam masjid itu, mereka tampaknya habis mengikuti pengajian rutin. Terlihat seseorang keluar dari masjid, pakai sarung dan koko putih, di lehernya terlilit sorban hijau. Dan kuhafal betul, kalau itu suaminya Wulan.

     “Assalaamualaikum, teman-temannya Wulan, ya?” Lelaki itu menyapa kami sambil tersenyum, tangannya terulur ke arah Ujang.

     “Waalalikum salam, betul, Bang, kami kawannya Wulan waktu SMA,” kata Ujang dengan cekatan menyambut tangan lelaki itu.

     “Oh, silakan, masuk, Wulannya di dalam, sudah menunggu dari tadi,” kata Bang Rohman.

     “ Ganteng juga, ramah lagi, pantaslah kalau disegani,” bisik Gesa.

      Sebelum masuk ke rumah Wulan, kami dipersilakan untuk membersihkan kaki terlebih dahulu di samping rumahnya. baju yang terkena lumpur pun ikut dibasuh. Untung bajuku cuma bagian bawah saja yang kotor. Satu per satu kami masuk rumah, semua kawan yang laki-laki bersalaman dengan ustadz Rohman, yang perempuan juga bersalaman tetapi tidak bersentuhan.

     Di ruang tamu, telah tersaji jamuan yang ditata dengan rapi, makanan dan minuman tradisional. Kami dipersilakan duduk dan memakan hidangan, semua yang tersedia masih hangat. Cocok sekali dengan suasana yang dingin, ingin rasanya segera menikmatinya. Namun, aku menuju pojok ruangan itu, kulihat sosok wanita yang semasa SMA menjadi kawan akrabku, Dia tersenyum lebar dan memelukku.

     “Sudah lama, kita tidak berjumpa, ya, Wulan.” Ujarku sambil memegang tangannya erat-erat.

     “Lan, maafin aku ya, waktu kamu nikah, aku enggak bisa datang. Oleh karena itulah, kami sepakat mengadakan reuni pertama ini di rumahmu,” kata Imah sambil memeluk Wulan.

     Tak lama kemudian, acara akan segera dimulai, Ujang meminta kami duduk. Sambil menikmati hidangan, ketua rombongan memberikan kata sambutan, dilanjutkan sambutan tuan rumah yang diwakili suami Wulan sekaligus do’a. Acara intinya ramah tamah dan penyerahan kado buat anaknya Wulan.

      Sengaja aku duduk tidak jauh dari Wulan, supaya bisa bercerita banyak.  Gesa dan Imah pun ikut nimbrung karena mereka masih penasaran dengan kisahnya Wulan yang menikah muda. Sesekali obrolan kami diselingi tawa, namun, kami tak bisa berlama-lama, hari sudah mulai mendung, kami berpamitan pada Wulan dan keluarganya. Pertemuan singkat yang mengesankan, karena kami yang sudah berjauhan, bisa berkumpul lagi di acara reuni ini.  

    Dalam perjalanan pulang, kawan-kawan masih tak percaya dengan yang dialami Wulan.

    “Masa sih, di zaman yang sudah modern ini, masih ada pernikahan tanpa didahului dengan pacaran,” ujar Gesa.

     “Iya, ya, bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, yang masih harus dijodohkan oleh orang tua,” ucap Imah. “Kalau aku, sih, enggak mau.”

     “Tapi, kan, kalau Wulan bukan seperti Siti Nurbaya,” kataku. “Dia kenal dengan suaminya saat ada acara pengajian remaja masjid, aku tahu ceritanya.”

     “Ha, Yati, curang, kok, enggak cerita sama kita, ya, Sri,” ujar Gesa. “Ceritakanlah, Yat, aku penasaran, nih, ingin tahu kisah cintanya Wulan.”

     “Baiklah, dari mulai perkenalannya dulu, ya,” kataku. “Biasanya muncul perasaan cinta itu pada pandangan pertama, ya, Mah, tapi Wulan lain, ha ha ha.”

     “Jadi tambah penasaran, lanjut dong ceritanya, Yat,” kata Imah.

     “Malam itu, aku dan Wulan ikut rombongan remaja masjid Nurul Huda menghadiri pengajian rutin di kampung Sinagar. Pada saat acara pembacaan wahyu Illahi, seorang pemuda berwajah brewok maju ke podium. Kulihat Wulan lebih banyak memperhatikan sekitar ruangan masjid ketimbang melihat siapa yang ada di atas mimbar.”

     “Terus, terus, gimana, kok, bisa sampai jadian?” Gesa penasaran.

     “Ternyata Wulan tertarik mendengar suara pemuda itu yang merdu, padahal aku tahu Wulan tak begitu memperhatikannya. Tetapi, setelah mendengar suaranya, katanya mulai berdesir hatinya, dan muncul rasa kagum pada sosok yang awalnya kurang menarik baginya. Pada saat itu, aku bilang ke Wulan, kalau yang jadi qori tadi itu, Ustaz Rohman, dari Kampung Cidopang, yang sering aku ceritakan padanya. Tahu, enggak, Wulan kelihatan kaget, dia tidak menyangka bakal ketemu di masjid itu. Ustaz muda yang suaranya merdu, juga bersahaja. Banyak ibu-ibu yang ingin mengambilnya menjadi menantu mereka, tetapi Ustaz Rohman masih belum menemukan calon istri yang sesuai. Wulan juga sempat ingin berkenalan dengan ustaz Rohman, tetapi masih ada rasa malu yang menghalanginya untuk melakukan itu. Namun, setelah perkenalannya di masjid itu, ternyata berlanjut. Ustaz Rohman datang melamar Wulan. Tidak sampai sebulan setelah lamaran itu, Wulan melangsungkan pernikahannya.”

     “Oh, enggak lama, enggak pacaran pula, gimana nanti kalau enggak cocok, ya?” Tanya Sri, sambil pindah duduk ke dekatku.  

     “Walaupun enggak pacaran, sebelum acara lamaran, kan, ada proses ta’aruf dulu. Kebetulan ayahnya Wulan pengurus masjid Nurul Huda, setelah mengetahui anaknya suka pada Ustaz Rohman, ayahnya mendatangi keluarga Ustaz Rohman, dan menceritakan kalau anaknya telah siap untuk menikah dan pilihannya pada Ustaz Rohman. Ternyata Ustaz Rohman bersedia dan juga menyukai Wulan sejak perkenalan waktu di masjid itu.” Aku berhenti sejenak. ”Kalau bagi kita, sih, pasti aneh, tapi, ya, begitulah, ternyata proses yang dijalani Wulan seperti itu, buktinya sampai mempunyai anak, tetap bahagia kelihatannya, kan?”

      “Jadi, cinta pertama Wulan bukan karena pandangan pertama, ya, melainkan pendengaran pertama, ha, ha,” ujar Gesa sambil tertawa.

     Kami pun ikut tertawa, membayangkan kisah Wulan, si gadis berkerudung lebar, julukan Wulan waktu di SMA.

 

Pelalawan, 8 Juli 2022



BUKAN PADA PANDANGAN PERTAMA

 Karya : Ai Sumarni      Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba, kami sudah berkumpul di rumah Ujang, yang ditunjuk sebagai ketua panitia ...