Karya : Ai Sumarni
Akhirnya,
hari yang ditunggu-tunggu tiba, kami sudah berkumpul di rumah Ujang, yang
ditunjuk sebagai ketua panitia reuni. Hari ini kami akan mengadakan reuni kelas
tiga semasa SMA, tempat pelaksanaannya di rumah Wulan yang berada di Desa
Cidopang. Sengaja kami memilih rumah Wulan, karena Wulan baru beberapa hari
melahirkan anaknya, jadi sekalian menjenguknya.
“Yat, nanti kita mampir dulu ya, ke toko
baju bayi!” Kata Gesa sambil menggandeng tanganku.
“Baru mau belanja atau tinggal ambil
saja?” Aku balik bertanya.
“Tinggal ambil, kemarin aku sudah pesan,
dan minta langsung dibungkus. Isinya itu, handuk, selimut dan baju-baju bayi.
Wulan pasti senang, ya.”
“Alhamdulillah, pasti senang, lah, kita
pun sudah lama ingin jumpa Wulan. Untung kawan-kawan setuju, ya, kalau reuni
pertama kita diadakan di rumah Wulan.”
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul
sembilan, namun, cuaca agak mendung, matahari enggan menampakkan dirinya. Kami
bersiap-siap untuk melakukan perjalanan, semua peserta reuni memakai celana
panjang, karena selain jalan yang akan ditempuh lumayan jauh juga sekitar 1500
meter hanya bisa ditempuh sepeda motor dan jalan kaki. Aku pernah ke sana,
waktu ngantar Wulan pindah setelah menikah. Mobil hanya sampai di terminal,
setelah itu dilanjutkan dengan naik ojeg atau jalan kaki. Aku lebih memilih
jalan kaki, ngeri melihat jalanan yang menurun dan masih tanah.
Hujan rintik-rintik membasahi kampung Cidopang,
jalanan menjadi licin dan becek. Namun,
kami tetap melangkahkan kaki menelusuri jalanan yang menurun, aku sempat
tergelincir beberapa kali, kawan yang membantu pun turut terjatuh. Semuanya
tidak ada yang memakai alas kaki, sandal, sepatu ditenteng, pengalaman yang
mengasyikkan. Sesekali diselingi tertawa bila ada yang jatuh, apalagi jika
melihat kaki sudah belepotan lumpur.
“Cape juga, ya, masih jauh ga, sih, rumah
Wulannya?” Tanya Imah.
Kulihat Imah menghentikan langkahnya, lalu
memandang sekeliling, heran mungkin, kalau hanya ada beberapa rumah penduduk,
itu pun hanya di sebelah kiri jalan, sedangkan sebelah kanan sejauh mata
memandang hanya pemandangan yang indah yang terlihat, banyak pepohonan di bawah
sana.
“Yat, lihat gunung itu indah sekali,” seru
Imah. “Aku suka pemandangannya.”
“Iya, Mah, pantesan Wulan betah di sini,
pemandangannya indah dan masih asri,” kata Gesa.
“Suaminya kan, tinggal di sini,” ujarku. “Wajarlah,
dia harus ikut suaminya.”
“Suaminya
Wulan itu, ustadz di kampung ini, ya, kata Ujang, walaupun masih muda, tetapi
sangat disegani.” Alfat yang dari tadi diam ikut nimbrung.
“Enggak nyangka, ya, kalau Wulan yang dulu
kita ejek enggak bakal punya suami, eh, malah dia duluan yang sudah nikah,
sudah punya anak lagi,” kata Imah sambil tertawa. “Saya yang pacaran sudah
lama, masih gini-gini aja.”
“Kita kan, masih kuliah, kalau Wulan,
dengarnya sih cuma sampai D1 saja,” kata Gesa.
“Gimana ceritanya sih, kok, bisa cepat
nikah, padahal dia, kan, enggak pernah pacaran, mustahil rasanya,” bisik Imah
sambil melirik padaku.
Aku hanya tersenyum, semua kisah Wulan
dari mulai perkenalan sampai menikah, aku mengetahuinya.
Tak terasa kami sudah sampai depan rumah
Wulan, lumayan besar kalau dibandingkan rumah sekitarnya. Halamannya luas
ditumbuhi rumput hijau, depan rumahnya berdiri sebuah masjid besar. Masih ada
ibu-ibu yang duduk di dalam masjid itu, mereka tampaknya habis mengikuti
pengajian rutin. Terlihat seseorang keluar dari masjid, pakai sarung dan koko
putih, di lehernya terlilit sorban hijau. Dan kuhafal betul, kalau itu suaminya
Wulan.
“Assalaamualaikum, teman-temannya Wulan,
ya?” Lelaki itu menyapa kami sambil tersenyum, tangannya terulur ke arah Ujang.
“Waalalikum salam, betul, Bang, kami
kawannya Wulan waktu SMA,” kata Ujang dengan cekatan menyambut tangan lelaki
itu.
“Oh, silakan, masuk, Wulannya di dalam,
sudah menunggu dari tadi,” kata Bang Rohman.
“ Ganteng juga, ramah lagi, pantaslah
kalau disegani,” bisik Gesa.
Sebelum masuk ke rumah Wulan, kami dipersilakan
untuk membersihkan kaki terlebih dahulu di samping rumahnya. baju yang terkena
lumpur pun ikut dibasuh. Untung bajuku cuma bagian bawah saja yang kotor. Satu
per satu kami masuk rumah, semua kawan yang laki-laki bersalaman dengan ustadz
Rohman, yang perempuan juga bersalaman tetapi tidak bersentuhan.
Di ruang tamu, telah tersaji jamuan yang
ditata dengan rapi, makanan dan minuman tradisional. Kami dipersilakan duduk
dan memakan hidangan, semua yang tersedia masih hangat. Cocok sekali dengan
suasana yang dingin, ingin rasanya segera menikmatinya. Namun, aku menuju pojok
ruangan itu, kulihat sosok wanita yang semasa SMA menjadi kawan akrabku, Dia
tersenyum lebar dan memelukku.
“Sudah lama, kita tidak berjumpa, ya,
Wulan.” Ujarku sambil memegang tangannya erat-erat.
“Lan,
maafin aku ya, waktu kamu nikah, aku enggak bisa datang. Oleh karena itulah,
kami sepakat mengadakan reuni pertama ini di rumahmu,” kata Imah sambil memeluk
Wulan.
Tak lama kemudian, acara akan segera
dimulai, Ujang meminta kami duduk. Sambil menikmati
hidangan, ketua rombongan memberikan kata sambutan, dilanjutkan sambutan tuan
rumah yang diwakili suami Wulan sekaligus do’a. Acara intinya ramah tamah dan
penyerahan kado buat anaknya Wulan.
Sengaja aku duduk tidak jauh dari Wulan,
supaya bisa bercerita banyak. Gesa dan
Imah pun ikut nimbrung karena mereka masih penasaran dengan kisahnya Wulan yang
menikah muda. Sesekali obrolan kami diselingi tawa, namun, kami tak bisa
berlama-lama, hari sudah mulai mendung, kami berpamitan pada Wulan dan keluarganya.
Pertemuan singkat yang mengesankan, karena kami yang sudah berjauhan, bisa
berkumpul lagi di acara reuni ini.
Dalam perjalanan pulang, kawan-kawan masih
tak percaya dengan yang dialami Wulan.
“Masa sih, di zaman yang sudah modern ini, masih
ada pernikahan tanpa didahului dengan pacaran,” ujar Gesa.
“Iya, ya, bukan zamannya Siti Nurbaya lagi,
yang masih harus dijodohkan oleh orang tua,” ucap Imah. “Kalau aku, sih, enggak
mau.”
“Tapi, kan, kalau Wulan bukan seperti Siti
Nurbaya,” kataku. “Dia kenal dengan suaminya saat ada acara pengajian remaja
masjid, aku tahu ceritanya.”
“Ha, Yati, curang, kok, enggak cerita sama
kita, ya, Sri,” ujar Gesa. “Ceritakanlah, Yat, aku penasaran, nih, ingin tahu
kisah cintanya Wulan.”
“Baiklah, dari mulai perkenalannya dulu,
ya,” kataku. “Biasanya muncul perasaan cinta itu pada pandangan pertama, ya, Mah,
tapi Wulan lain, ha ha ha.”
“Jadi tambah penasaran, lanjut dong
ceritanya, Yat,” kata Imah.
“Malam itu, aku dan Wulan ikut rombongan
remaja masjid Nurul Huda menghadiri pengajian rutin di kampung Sinagar. Pada
saat acara pembacaan wahyu Illahi, seorang pemuda berwajah brewok maju ke
podium. Kulihat Wulan lebih banyak memperhatikan sekitar ruangan masjid
ketimbang melihat siapa yang ada di atas mimbar.”
“Terus, terus, gimana, kok, bisa sampai
jadian?” Gesa penasaran.
“Ternyata Wulan tertarik mendengar suara
pemuda itu yang merdu, padahal aku tahu Wulan tak begitu memperhatikannya. Tetapi,
setelah mendengar suaranya, katanya mulai berdesir hatinya, dan muncul rasa
kagum pada sosok yang awalnya kurang menarik baginya. Pada saat itu, aku bilang
ke Wulan, kalau yang jadi qori tadi itu, Ustaz Rohman, dari Kampung Cidopang, yang
sering aku ceritakan padanya. Tahu, enggak, Wulan kelihatan kaget, dia tidak menyangka
bakal ketemu di masjid itu. Ustaz muda yang suaranya merdu, juga bersahaja. Banyak
ibu-ibu yang ingin mengambilnya menjadi menantu mereka, tetapi Ustaz Rohman
masih belum menemukan calon istri yang sesuai. Wulan juga sempat ingin berkenalan
dengan ustaz Rohman, tetapi masih ada rasa malu yang menghalanginya untuk
melakukan itu. Namun, setelah perkenalannya di masjid itu, ternyata berlanjut. Ustaz
Rohman datang melamar Wulan. Tidak sampai sebulan setelah lamaran itu, Wulan
melangsungkan pernikahannya.”
“Oh, enggak lama, enggak pacaran pula,
gimana nanti kalau enggak cocok, ya?” Tanya Sri, sambil pindah duduk ke
dekatku.
“Walaupun enggak pacaran, sebelum acara
lamaran, kan, ada proses ta’aruf dulu. Kebetulan ayahnya Wulan pengurus masjid
Nurul Huda, setelah mengetahui anaknya suka pada Ustaz Rohman, ayahnya
mendatangi keluarga Ustaz Rohman, dan menceritakan kalau anaknya telah siap
untuk menikah dan pilihannya pada Ustaz Rohman. Ternyata Ustaz Rohman bersedia
dan juga menyukai Wulan sejak perkenalan waktu di masjid itu.” Aku berhenti
sejenak. ”Kalau bagi kita, sih, pasti aneh, tapi, ya, begitulah, ternyata
proses yang dijalani Wulan seperti itu, buktinya sampai mempunyai anak, tetap
bahagia kelihatannya, kan?”
“Jadi, cinta pertama Wulan bukan karena
pandangan pertama, ya, melainkan pendengaran pertama, ha, ha,” ujar Gesa sambil
tertawa.
Kami pun ikut tertawa, membayangkan kisah
Wulan, si gadis berkerudung lebar, julukan Wulan waktu di SMA.
Pelalawan,
8 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar